![]() |
(Backdrop Musikal Perempuan Punya Cerita/Foto/Zahwa Luthfiyyahtul Aulia) |
Gedung Graha Bhakti Budaya di Taman Ismail Marzuki malam itu tidak menyisakan kursi kosong. Riuh tepuk tangan bergema bahkan sebelum lakon dimulai. Penonton dari berbagai usia tampak larut dalam antusiasme, sebagian sibuk memotret panggung, sebagian lain menanti dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Begitu lampu perlahan meredup, suara gong dari gamelan menggema, dan tirai merah besar naik perlahan, suasana mendadak berubah. Hiruk-pikuk penonton berganti dengan hening penuh harap.
Ketika tirai terbuka, emosi kolektif segera tercipta. Tawa pecah di beberapa adegan ringan, lalu teriakan menggema ketika konflik muncul tiba-tiba. Ada pula momen-momen membingungkan, ketika alur cerita menuntut penonton untuk ikut berpikir, ikut meraba jalan cerita. Semua itu menjadi bukti jika teater bukan hanya sebuah tontonan, tetapi pengalam bersama.
Panggung seolah menjadi cermin besar. Setiap gerak, dialog, dan ekspresi para aktor memantulkan fragmen kehidupan sehari-hari. Penonton bukan sekadar menyaksikan, melainkan seperti ikut melihat diri mereka sendiri–dengan luka, tawa, dan keresahan yang sama.
Isu Sosial yang Terangkat Lewat Teater
Lakon berjudul Bangku Kosong yang dimainkan malam itu bukanlah kisah rekaan belaka. Ia berbicara tentang perundungan, tentang perempuan yang kehilangan suara, tentang realitas yang sering kita abaikan. Gerry Gerardo yang melakonkan karakter Bobby, mengaku tertarik karena isu ini begitu dekat dengan kehidupan.
“Cerita ini tentang perundungan, jadi itu isu yang aku tertarik untuk bawain,” ucapnya sambil tersenyum dengan memeluk erat buket hadiah pemberian penonton atas kerja kerasnya menampilkan peran sebagai Bobby.
Perundungan bukan hal asing di sekitar kita. Dari ruang sekolah hingga dunia maya, dari candaan kecil hingga luka batin yang mendalam, perundungan seakan menemukan jalannya di berbagai lapisan masyarakat. Di panggung, isu itu dipadatkan menjadi drama yang menohok. Penonton dipaksa untuk tidak hanya mendengar cerita, tapi ikut merasakan di dada mereka sendiri.
Teater, dalam hal ini, bekerja lebih kuat daripada sekadar menonton film melalui gadget. Ia menghidupkan kembali rasa yang bisa membuat orang peduli karena mereka ikut terlarut dalam emosi tokoh. Di situlah seni berfungsi: mengingatkan bahwa empati adalah sesuatu yang bisa dipelajari, bahkan lewat sebuah pertunjukkan.
Proses Kreatif di Balik Panggung
Bagi Gerry, perjalanan menuju pentas sama berarti dengan pertunjukan itu sendiri. Komunikasi dengan sutradara menjadi titik penting dari bagaimana karakter akan diarahkan, apa yang perlu diubah dari versi sebelumnya, detail teknis apa yang bisa diperkuat.
“Overall itu sangat interest untuk dicari lagi, karena kan udah pernah running sebelumnya,” ungkap Gerry dengan nada yang lembut dan senyum ramah.
Pengulangan bukan berarti pengulangan rasa. Justru, setiap kali dipentaskan, lakon ini menemukan wajah barunya. Seperti membaca buku yang sama disuai berbeda, makna dan kesan yang lahir tidak pernah identik. Panggung menjadi ruang eksperimentasi, tempat aktor dan sutradara berkolaborasi menciptakan makna baru.
Inilah yang membuat teater terasa hidup. Ia tidak membeku dalam naskah, melainkan bernafas melalui para pemainnya. Setiap jeda, intonasi, bahkan kesalahan kecil sekalipun bisa menjelma menjadi bagian dari cerita. Itulah seni yang tak bisa digantikan oleh layar kaca atau rekaman: keintiman antara aktor dan penonton yang lahir dari proses kreatif yang terus bergerak.
Suara Penonton, Cermin Empati
Di kursi penonton, Sarah Nadiva merasakan betul bagaimana teater bisa mengguncangkan perasaan. Bagian kedua dari pertunjukkan membuatnya terdiam. Kisah seorang gadis bernama Anya yang hancur di masa remajanya dan Kisah seorang Ibu bernama Jami merupakan kedua cerita yang berbeda, namun tetap menceritakan soal perjuangan hak perempuan untuk bersuara pada dunia, membuat matanya berkaca-kaca.
“Sedih juga sih ngeliatnya, terlebih ini soal perempuan ya, kaya nasib perempuan tuh cuma ada di tangan kita gitu,” katanya pelan namun matanya terlihat masih merasakan gejolak emosional.
Pesan penting dibalik kesedihan itu, yaitu perempuan perlu lebih sadar, lebih menjaga diri, dan lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Menurut Sarah, kekuatan teater malam itu bukan hanya pada akting yang meyakinkan, tetapi cara cerita itu mengingatkan penonton akan rapuhnya posisi perempuan di masyarakat.
Respon emosional penonton lain pun serupa. Emosi yang terpingkal-pingkal pada adegan ringan, ada yang terpaku ketika alur berubah menjadi kelam. Gelombang reaksi ini menunjukkan bahwa penonton tidak sekadar hadir untuk mengisi kursi. Mereka hadir untuk ikut merasakan, ikut berefleksi dan disitulah teater bekerja menciptakan ruang empati bersama.
Lebih dari Sekadar Hiburan
Gerry menegaskan, pertunjukkan ini bukan hanya untuk menghibur. “Pesannya lebih ke isu-isu ini tuh masih nyata di kehidupan sehari-hari. Jadi, let’s try to be more aware dan peduli,” katanya dengan mata yang penuh tekad dan suara penuh tekanan. Harapannya sederhana namun kuat, ia berharap penonton dapat pulang dengan membawa empati dan sepenggal pengalaman yang baru dari cerita yang dikisahkan.
Di era digital, ketika perhatian orang mudah teralihkan oleh gawai, teater justru menawarkan sesuatu yang beda. Penonton duduk, menatap panggung, dan ikut hanyut dalam cerita. Tidak ada jeda untuk menggeser layar atau membalas pesan. Teater menuntut kehadiran utuh dan sebagai gantinya, memberikan pengalam emosional yang sulit tergantikan. Maka, teater ini lebih dari hiburan. Ia adalah medium advokasi, ruang refleksi, dan sarana mengasah empati.
Teater tidak berbicara lewat data atau argumentasi panjang, tetapi lewat cerita yang membuat hati ikut bergetar. Inilah kekuatan teater, ia mengabadikan isu yang timeless. Membaca artikel berita tentang perundungan mungkin membuat kita cepat lupa, tetapi menyaksikan cerita itu di panggung bisa melekat jauh lebih lama, karena ia menyentuh bukan hanya pikiran, tetapi juga hati.
Pertunjukkan malam itu akhirnya usai dengan tepuk tangan panjang. Aktor menunduk memberi hormat, lampu panggung padam, dan penonton meninggalkan gedung dengan langkah pelan, namun cerita tidak berhenti disana, ia ikut pulang bersama penonton, menjadi renungan, mungkin juga menjadi pengingat kecil saat menghadapi dunia esok hari.