(Ilustrasi wanita mengalami cyberbullying/Foto/Medium.com)
Di era media sosial yang semakin berkembang, kasus-kasus Cyberbullying sudah menjadi hal lumrah, terutama di kalangan generasi sekarang. Cyberbullying adalah bentuk intimidasi atau perilaku agresif yang dilakukan melalui media digital, seperti internet, media sosial, pesan teks, atau platform online lainnya. Tindakannya bisa seperti mengirimkan pesan yang menyakitkan, menyebarkan rumor, mengunggah konten yang merendahkan, atau mengancam seseorang secara online.
Aplikasi yang menampilkan video pendek ini telah menjadi wadah hiburan bagi generasi muda dan Tiktok menjadi salah satu platform hiburan paling populer di dunia, termasuk Indonesia. Aplikasi ini bukan hanya soal joget viral, tapi juga menjadi tempat orang-orang mengekspresikan diri, berbagi kisah hidup, dan membangun komunitas. Dari remaja sampai dewasa, hampir semua kalangan bisa ditemukan di aplikasi ini.
Namun, dibalik layar ponsel yang selalu menampilkan tarian dan suara lucu, ada sisi gelap yang juga terjadi di aplikasi ini. Belakangan ini, kasus Cyberbullying seringkali ditemui di beberapa video para pengguna untuk menyebarkan kebencian, ejekan fisik, dan candaan yang menyakitkan. Tak jarang, komentar-komentar seperti itu tidak melewati proses moderasi yang memadai.
Salah satu contoh nyata terjadi pada akun TikTok milik seorang perempuan muda, sebut saja namanya Nisa. Meski usianya baru 22 tahun, kondisi fisiknya membuat wajahnya tampak jauh lebih tua dari seharusnya yang hal ini terjadi karena faktor genetik. Nisa dengan berani membagikan video tentang rasa syukurnya pada fisik yang ia miliki. Namun, bukan mendapatkan pujian, justru yang ia dapat hanya dihujani komentar buruk dari warganet.
Komentar yang sering muncul dalam videonya seperti “nenek ngapain sih di sini” atau “kok bisa setua ini?” dan “kakak beneran lahir tahun 2003, ga mungkin kayaknya” terus bermunculan dengan mudah tanpa empati. Fenomena ini menunjukkan bahwa di media sosial, siapapun bisa jadi sasaran empuk, apalagi jika penampilannya dianggap “berbeda”.
Salah satu alasan utama adalah efek anonimitas di dunia maya. Banyak pengguna merasa bebas berkata apa saja karena bersembunyi di balik akun tanpa identitas yang jelas tanpa melihat langsung dampak dari kata-kata yang ditulis sehingga empatinya jadi tumpul.
Selain itu, tren “toxic virality” membuat konten yang memicu emosi atau kontroversi justru lebih mudah viral. Komentar jahat sering dianggap hiburan atau bahan lucu-lucuan, apalagi kalau dibumbui sarkasme. Akibatnya, semakin kejam komentarnya, semakin banyak pula yang ikut-ikutan.
Dr. Sameer Hinduja, Profesor di Fakultas Kriminologi dan Peradilan Pidana di Florida Atlantic University dan merupakan Co-Direktur Pusat Penelitian Cyberbullying menyatakan, bahwa Cyberbullying adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk terus menerus melecehkan, mengintimidasi, dan mempermalukan orang. Ia juga menekankan bahwa cyberbullying adalah bentuk pelecehan yang diulang-ulang dan dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang pada korban.
![]() |
(Ilustrasi takut kepada dunia maya akibar dari cyberbullying/Foto/alhudaglobalscholl) |
Dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal of Medical Internet Research (JMIR) Publication Advancing Digital Health & Open Science, menemukan bahwa pengalaman cyberbullying menyebabkan penurunan signifikan pada kesejahteraan internal dan emosi positif pada korban, serta peningkatan emosi negatif seperti rasa malu, bersalah, marah, dan permusuhan.
Tindakan seperti ini dapat membentuk kepribadian korban jauh berubah, dengan penurunan agreeableness, extraversion, dan conscientiousness, serta peningkatan neuroticism yang menyebabkan risiko bunuh diri dan perubahan persepsi terhadap keadilan sosial dan moralitas. Komentar jahat yang dilontarkan kepada selebgram tersebut dapat menyebabkan rasa tidak percaya diri dan masalah kesehatan pada mental.
Cyberbullying bukan sekadar “komentar iseng”, tapi bisa menjadi luka nyata yang meninggalkan dampak jangka panjang, khususnya bagi remaja dan Gen Z yang hidupnya tak lepas dari media sosial. Untuk itu, mengatasi perundungan digital memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari korban, pelaku, keluarga, sekolah, komunitas, hingga platform digital.
Hal pertama yang perlu diingat oleh korban adalah untuk tidak membalas atau melayani komentar jahat yang justru bisa memperparah situasi dan memperpanjang siklus kebencian. Simpan semua bukti perundungan karena hal ini bisa menjadi bahan penting saat melapor ke pihak platform atau hukum.
Kedua, tak semua pelaku cyberbullying sadar bahwa yang mereka lakukan adalah bentuk kekerasan. Sebagian besar muncul karena masalah pribadi, perasaan rendah diri, atau hanya ikut-ikutan. Langkah awal bisa dimulai dengan meminta maaf dan mengakui kesalahan. Selain itu mengurangi waktu bermain media sosial dapat membantu meredam impulsif negatif dan memperbaiki cara bersosialisasi secara digital.
Lingkungan sekolah dan komunitas juga memegang peran penting dalam pencegahan. Edukasi tentang digital harus dimulai sejak dini. Sekolah wajib punya kebijakan tegas soal anti-bullying, serta menyediakan layanan konseling yang mudah di akses siswa seperti ruang Bimbingan Konseling (BK). Terakhir, platform seperti Tiktok harus menyediakan fitur pelaporan yang jelas dan respon yang cepat terhadap konten yang bermasalah.
Secara keseluruhan, penting bagi kita untuk menyadari dan mengatasi Cyberbullying demi kesejahteraan mental dan menciptakan lingkungan digital yang lebih positif. Dengan menerapkan strategi yang tepat serta bijak dalam menggunakan teknologi, kita bisa terhindar dari dampak buruk perundungan online dan menjalani kehidupan yang lebih tenang dan bermakna.