Dari Sakura ke Nusantara: Merajut Literasi dan Warisan Budaya Menjadi Sumber Ekonomi

 

(Penukaran chandra mata penghargaan sebagai jalannya acara diskusi Core Indonesia x Ngariksa dengan Tamaki Hoshi/Jakarta/Dokumentasi Tim Sekilas Kata)


Di sebuah kafe berlantai empat di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, suasana malam pada 9 September 2025 itu terasa berbeda. Tenku Cafe yang biasanya menjadi ruang temu santai, berubah menjadi panggung pertemuan lintas bangsa. CORE Indonesia bekerja sama dengan komunitas Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara) menghadirkan diskusi bertajuk "Dari Sakura ke Nusantara: Merajut Literasi dan Warisan Budaya Menjadi Sumber Ekonomi".


Momentum itu dipilih tidak sembarangan oleh CORE Indonesia. Satu hari sebelumnya, dunia telah memperingati Hari Literasi Internasional pada 8 September 2025 yang setiap tahun mengingatkan pentingnya literasi sebagai fondasi pembangunan bangsa. Literasi di sini tidak lagi dipahmi sebatas kemampuan membaca dan menulis, melainkan pemahaman mendalam atas identitas, budaya, dan pengatuhuan yang membentuk peradaban.


Pendiri CORE Indonesia, Hendri Saparini, Ph.D., membuka acara dengan menegaskan bahwa literasi budaya harus menjadi pintu masuk pembangunan. Ia menyoroti bagaimana warisan budaya kerap ditempatkan di pinggir jalan pembangunan, padahal di tangan yang tepat, ia bisa menjadi kekuatan ekonomi yang tak kalah dari sumber daya alam.


"Literasi budaya adalah pintu masuk untuk menciptakan nilai tambah sekaligus membangun ekosistem ekonomi kreatif," tegas Hendri.


Pernyataan itu seakan menjadi garis merah diskusi malam itu, seperti bagaimana warisan budaya seringkali dianggap menjadi bagian dari masa lalu, tetapi malah menyimpan potensi besar bagi masa depan.


Salah satu pembicara utama, Tamaki Hoshi selaku penulis novel budaya dan Putri Jepan 2021, menggambarkan bagaimana Jepang telah lama menjadikan budaya lokal sebagai landasan pembangunan. Lulusan Waseda University School of Social Science itu menekankan bahwa setiap elemen budaya menyimpan nilai estetika yang mampu berorientasi lintas negara. Tamaki mencontohkan pengalamannya ketika berinterasi dengan batik Indonesia.


"Setiap daerah punya perbedaan motif, sejarah, dan cerita. Tidak mungkin saya mengoleksi semua batik sebagai pakaian utuh. Tapi jika ada produk boneka berbatik dari tiap daerah, saya justru akan lebih temotivasi untuk berkeliling Indonesia," ungkap Tamaki.


Kalimat sederhana itu menggambarkan peluang besar untuk budaya yang bukan hanya artefak negara, melainkan narasi yang bisa dikemas menjadi pengalaman baru sekaligus pintu masuk wisata dan ekonomi kreatif.


Prof. Oman Fathurahman, M.Hum, pakar fiologi sekaligus penerima Habibie Prize 2023, mengingatkan bahwa warisan budaya tidak hanya berwujud benda atau kain, tetapi juga naskah kuno.


"Naskah-naskah Nusantara menyimpan khazanah pengetahuan yang sangat luas, mulai dari agama, medis, teknologi, hingga pemikiran ekonomi dan politik," ujarnya.


Bersama timnya, Oman telah mendigitalkan ribuan naskah kuno untuk membuka akses yang lebih luas bagi generasi masa kini. Dalam konteks literasi, langkah ini bisa membuka jendela peradaban agar tidak hanya menjadi sebuah koleksi, melainkan sebagai sumber inspirasi dan inovasi.


Acara tersebut bukan sekadar forum akademin. CORE Indonesia ingin ruang temu lintas negara dan generasi ini bisa menjadi tempat di mana komunitas pecinta budaya, peminat naskah kuno, hingga pelaku ekonomi kreatif bertukar pandang.


Hendri, menegaskan jika CORE Indonesia melalui program "Peruang Gagasan" mendorong anak-anak muda untuk bergabung dan mengasah diri. Diskusi-diskusi sebelumnya bahkan sudah menjembatani pelaku UMKM Indonesia agar bisa melihat peluang di pasar Jepang. 


"Core Indonesia hadir untuk menghubungkan gagasan. Dari anak-anak muda, untuk membangun komunikasi lintas bangsa, dan memberi nilai tambah bagi negara," tambahnya.


Dari Sakura ke Nusantara, diskusi ini menghadirkan sebuah kesadaran baru. Literasi bukan hanya sekadar soal kata dan kalimat, melainkan cara bangsa membaca dirinya sendiri. Jepang menunjukkan bahwa budaya dapat menjadi modal ekonomi dan Indonesia dengan keragaman tradisi serta manuskrip kunonya memiliki potensi lebih besar untuk melakukan hal yang sama. 


Warisan budaya tak lagi sekadar kenangan masa lalu, melainkan jlaan pulang yang bisa menjadi fondasi masa depan jika bangsa ini bersedia membaca kembali.

Lebih baru Lebih lama